Pernah dengar tragedi lenyapnya Kota Pompei di Italia, atau Dukuh Lagetan di pegunungan Dieng. Di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat,...
Pernah dengar tragedi
lenyapnya Kota Pompei di Italia, atau Dukuh Lagetan di pegunungan Dieng. Di
Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, juga ada kisah sebuah kampung yang menjadi
batu.
Semilir angin menerpa
lapisan pori-pori tubuh kami. Semula berpeluh, berubah dingin. Di depan kami,
hanya terpampang hutan. Kedua tangan kami terpaksa harus bekerja lebih keras
daripada biasanya, menyibak dedaunan juga akar tanaman tumbuhan liar yang menjuntai
tak beraturan. Bebatuan berukuran “jumbo” terpampang jelas di depan kami. Ada
yang berbentuk segitiga lobang tenganhnya, ada juga yang mirip atap sebuah
rumah. Sebarannya juga, seperti bekas sebuah perkampungan.
“Di larang meludah di
sini,” kata Anton mengingatkan kami.
Langkah kami memang
sedikit lambat dari biasanya. Begitu juga dengan pijakan, juga pandangan. Bukit
setinggi kurang dari 1000 kaki ini, memaksa kami bekerja lebih keras daripada
biasanya untuk bisa sampai ke tujuan.
Kurang dari 30 menit,
saya berhasil menapaki Lereng curam,bertanah gembur, akibat sawit bisa saja
rapuh saat saya injak, lalu terperosok ke bawah. Setibanya di atas bukit, saya
di suguhi pemandangan yang “membingungkan”. Bukit seolah terbagi dua bagian.
Pertama, sisi kiri lereng, puncak hingga kaki sudah tak lagi seperti perbukitan
biasanya yang penuh dengan pepohonan, tumbuhan liar, akar menjulang dan sarat
akan kelembaban. Namun pada kenyatannya, gersang, panas, tanahnya tak lagi
lembab. Puluhan batang sawit sudah di tancapkan tajinya ke tanah.
Sementara di sisi sebelah kanan, masih dipenuhi pepohan menjulang dengan suara
nyayian alam. Area hutan ini, masih menyimpan cerita rakyat yang hingga saat
ini dipercaya kebenarannya oleh masyarakat setempat.
“Batu-batu ini dulu
bekas perkampungan,” kata Anton sesekali semilir angin menerpa lapisan
pori-pori tubuh kami. Semula berpeluh, berubah dingin.
Kampung batu (Semaok Labor),
begitu sebutan yang di sematkan masyarakat setempat terhadap puluhan bongkahan
batu. Berada di Desa Bagak, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak. Semula,
bebatuan sebelum perwujudannya batu, merupakan sebuah perkampungan. Namun,
akibat dari seorang nenek yang cucunya di beri makan getah karet, kampung
tersambar petir hingga menjadi batu. cerita rakyat ini, turun temurun, hingga
saat ini masih di percaya dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat.
Sebaran batu yang ada di bukit tersebut, sepintas mirip seperti
sebuah perkampungan. Ukurannya juga, besar. Bahkan ada yang berbentuk atap.
Ria Kambe’ tokoh masyarkat sekaligus tetua adat setempat
menceritakan, Semaok laborkono sebuah kampung yang didiami tujuh
kepala keluarga dalam satu rumah betang.
“Dulu itu rumah
betang, Cuma 7 pintu. Penghuninya ada Nek Rino, Nek Ribas, Nek Sapil, Nek
Gelokn, Nek Ajul, Nek Guil, Nek Maunk,” papar Ria Kambe.
Diceritakan dia, Nek
Maunk punya satu orang cucu yang baru berusia 2 tahun yang sudah tidak punya
orangtua. Anak ini, gemar sekali memakan ikan. Pada suatu ketika, di kampung
tersebut tengah mengadakan acara, ada banyak makanan di sajikan.
“Anak itu datang minta
makan, tapi sama pelayannya di kasih getah kare dan ikan,” kata Ria Kambe
menceritakan, ia mengaku tidak mengetahui nama anak tersebut.
Setelah mendapatkan
apa yang ia minta, anak tersebut lantas membawa makanan itu pulang, untuk
disantap di rumah. Anak kecil itu merasa bingung, sebab makanan yang diberikan
itu susah di gigit. Dia sama sekali tidak tahu, jika makanan itu berasal dari
getah karet. “Melihat hal itu, Nek Maunk kesal, patah hati melihat cucunya itu
dipermainkan,” sebutnya.
Melihat cucunya di sakiti, nenek itu lantas menyuruh Landak
untuk menggali lobang. Sementara seokor Anjing didandani dengan pakaian lengkap
dan aksessories lengkap. “Anjing itu disuruh joget di depan orang-orang
kampung. Melihat itu, semua yang menyaksikan tertawa,” bebernya.
Setelah menyaksikan itu, Nek Maouk kemudian berdoa. “Tuhan aku
minta orang yang menyakiti cucuku disambar petir dan orang yang tertawa itu
menjadi batu,” kata Ria kambe
Benar saja, setelah doa dipanjatkan, tiba-tiba suara petir
menggelegar di awang-awang disertai angin topan dan beliung. Melihat itu, Nek
Maunk dan cucunya bergegas pergi.
“Nenek dan cucunya itu pergi ke lobang yang di gali landak tadi
dengan membawa buah kelapa,” ungkapnya.
Nenek dan cucunya selamat dari sambaran petir. Sementara warga
desa itu, menjadi batu. Dari kisah ini, Ria Kambek berpesan, agar tidak
menelantarkan anak kecil, dan jangan sampai hal ini terulang kembali.
“Kisah ini nyata, dan masih dipercaya sampai sekarang, menjadi
batu dan masih hidup di alam sana. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi,”
harapnya
COMMENTS