“Sebelum ada Tentara, Polisi, dialah (pantak) yang jaga keamanan, keselamatan kampung ini,” Suara petir menggelegar di awa...
“Sebelum ada Tentara, Polisi, dialah (pantak)
yang jaga keamanan, keselamatan kampung ini,”
Suara petir menggelegar di
awang-awang saat doa usai di panjatkan. Suasana alam seakan mencekam, padahal
hari masih beranjak siang sudah seperti petang. Riuh dan decik suara binatang
liar, tak lagi bersahutan. “Ini
tandanya, doa kita di kabulkan,”...!!!
Saya terbangun dari tidur lebih
cepat dari biasanya, meski kantuk masih mendera. Pagi sekali, saya dan ke empat
bergegas menceburkan diri ke sungai. Dingin, sudah pasti mendera, ngantuk
jangan di tanya.
Hari itu, kami punya agenda yang
aku anggap “baru”. Bisa dibilang ini Sebuah petualangan ke dunia mitos. Dimana,
sebuah cerita berlatarbelakang sejarah, yang di percaya kebenarannnya menjadi
sebuah landasan kehidupan menata sikap dan tingkah laku budaya orang dayak
dalam berbagai hal, seperti adat dan ritual.
Bias sinar matahari baru saja
menyeruak dari balik pepohonan. Hari ini, kami melewati pagi tanpa segelas
kopi. Sebab, saya dan ke empat rekan langsung memacu kendaraan membelah jalanan
menuju tempat ritual.
Standar motor baru saja di jagang,
sesosok lelaki tua separuh baya penuh kharisma keluar dari pintu rumahnya
dengan menggenggam tas hitam besar. Ria Kambe’, begitu ia menyebutkan namanya.
Tubuhnya ramping, rada ceking. Jarinya, hampir penuh terbalut cincin. Intonasi
suaranya cepat, meski bernada stereo namun berwibawa. Jika berbicara, bibirnya
acap kali bergetar. Seharian ini, kami akan di pandu olehnya, untuk
mendokumentasikan Pantak tertua yang
berada di Dusun Bagak, Desa Mamek, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak.
Pantak begitu sebutannya. Wujudnya
seperti ukiran patung yang terbuat dari kayu belian. Bentuknya sudah tak lagi
sempurna, sebab usianya sudah ratusan tahun lamanya. Pantak bisa juga diartikan
patung penghargaan terhadap pahlawan di masa lalu, yang sudah berjasa besar
terhadap masyarakat. Roh-roh para panglima, pembesar, maupun tetua suku Dayak
yang memiliki keahlian di masanya, pada saat meninggal rohnya di pindahkan ke
media patung, melalui sebuah upacara khusus. Dan patung itu hingga kini,
dilekatkan namanya menjadi Pantak. Hal ini, di yakini rohnya akan tetap hidup
selamanya.
Pantak, umumnya terbuat dari kayu
ulin,yang di pahat sedimikian rupa menyerupai manusia pada umumnya. namun ada juga yang berbentuk batu.ukurannya,
juga relatif: yang paling kecil, seukuran betis orang dewasa. Sementara yang
paling besar, bisa sampai setengah meter, bahkan lebih. Dengan diameter 20-30
cm.
Pantak di Dusun Bagak, terdiri dari
32 Pantak yang masing-masing mempunyai nama-nama sendiri. Di sekitar lokasi
pantak, biasanya diberi pondok,bisa juga pagar beton. Masing-masing punya roh
yang menunggunya dan mempunyai keahlian masing-masing. Bagi Dayak Kanayant,
pantak memiliki arti penting. “Gerejanya Dayak,”. Sebab, di sinilah pusat
ritual, tempat berdoa meminta keselamatan, dan kemakmuran.
Sebelum ritual doa dan keselamatan
di mulai, semua yang hadir di area pantak yang di pagar beton itu, di minta
untuk membersihkan dedaunan kering yang berserakan di area ritual. Sembari
menunggu semua persyaratan siap untuk sajikan dalam ritual: beras kuning, beras
putih, ketan, telur, ayam kampung jantan
dan lainnya.
Suasana mistik menyelimuti sekitar
area pantak, saat mulut Juru Kunci komat kamit mulai membaca mantra (Pamang), memanggil roh-roh nenek moyang
yang mendiami pantak. Mengenakan baju kebesaran, Ria Kamek mulai memukul besi.
Meski mulutnya membaca mantra, namun tangannya sesekali menebarkan beras ke
area pantak. Setelah menebarnya, ia kemudian berdiri dan menjumput beras, lalu
mengitari pantak satu persatu. Tangannya yang sudah menua itu, terlihat
cekatan. Menggunakan ikat kepala, beras yang di jumputnya itu juga sesekali di
letakkan di dahinya.
Selang beberapa menit, tim
Dokumentasi diminta untuk duduk di dekatnya. Tak lama, ia kembali menjumput
beberapa benih beras, kemudian tangan kanannya diarahkan ke masing-masing
kepala tim dokumentasi. Dan tak lupa pula, mantra yang selalu di bacanya
menggunakan bahasan Kanayant.
Ritual belum sampai disitu. Bak
pelatih sepak bola, juru kunci juga punya assisten yang bertugas menyediakan
setiap permintaan. Masih seperti sejumput butiran beras. Namun kali ini,
mediasinya perantara ayam jantan, yang juga di mengutari area pantak. Sebelum
akhirnya di sembelih, dan darahnya diambil untuk digunakan dalam prosesi ritual
selanjutnya.
Selain darah ayam, bulunya juga
digunakan dalam ritual. Bulu yang sudah di cabut beberapa helai, langsung di
tancapkan di sebuah Pabayau. (Pabayau
terbuat dari bambu. Ujungnya di belah menjadi 4 bagian. Keempat sudut kulit
bambu dikuliti hingga terurai. Sementara keempat sudutnya membentuk seperti
segiempat kerucut ke bawah).
Jubata adalah roh
yang baik, jumlah mereka banyak setiap sungai, gunung, hutan, bukit mempuyai
jubata. Kamang roh jagat leluhur dari
orang dayak makanannya adalah darah.
Makanya, dalam uacara adat, darah biasanya bagian kamang, sementara beras kuning, untuk jubata.
Upacara ritulah suku dayak
merupakan bentuk usaha manusia dalam membangun relasi yang baik dngan unsur non
mausia, agar keseimbangan sistem kehidupan tetap berlangsung. Sebab, dayak
tidak bisa terlepas dari hutan; hutan sudah seperti supermarket bagi mereka.
Mereka percaya, hutan memiliki penghuni masing-masing. Oleh sebab itu dayak tidak
bisa dipsahkan dengan alam. Bagi dayak,
tanah bukan hanya sumber ekomomi, namun juga basis bagi budaya sosial dan
aktifitas spritual.
Pama, cikal bakal lahirnya pantak.
Pama sendiri diartikan sebagai berkat, yaitu kekuatan yang memberi keuntungan.
Pama hanya di miliki orang besar dan
juga pengayau yang berhasil. Jika orang itu meninggal, pama di pindah ke
pantak.
Menurut penuturan Ria Kambek,
jejeran pantak yang saat ini masih berdiri di Dusun Bagak, sudah berusia hampir
800 tahun lamanya. Dia menyebut, keberadaanya sudah ada sejak zaman batu.
“Tahun 612, sebelum masehi sudah
ada pantak batu. Pantak ini, sudah 11 keturunan. Hitung saja, rata-rata satu
keturunan usianya 70 tahun, sudah berapa. Pantak ini, namanya pantak gasoh,
jumlahnya ada 32 dan semuanya di huni (roh),” kata Ria Kambek.
Keberadaan pantak selain dianggap
sebagai tempat ritual yang di sucikan, juga dipercaya untuk menjaga keselamatan
kampung. “Pantak ini, tempat nenek moyang kami berdoa. Di sini bukan hanya
orang kampung saja yang meminta. Pejabat seperti bupati dan lainnya, juga
pernah meminta di sini,” ungkapnya.
32 pantak di Dusun Bagak, kini
sudah resmi dijadikan cagar budaya dan di akui pemerintah. Meski demikian, Ria
kambek tetap berpesan, agar warisan leluhur dapat di bina, di jaga serta di
lestarikan, apapun adat dan budaya suku dayak.
“Pantak di sini, istilahnya gereja
besar kita, bagi orang dayak. Karena ini, bisa tersebar ke anak kita,” ujarnya.
Usai ritual, Juru kunci kembali
berdoa untuk keselamatan dan keberkahan semua pengunjung yang mengikuti proses
ritual. Baru saja doa di tutup, suara geluduk menggelegar, pertanda hujan
segera turun. Kami pun bergegas untuk berkemas dan meninggalkan area pantak.
“Ini tandanya, doa kita di kabulkan,” tukasnya.
Dalam pandangann hidup alam semesta
mempunya jiwa. Prinsip hidup mereka
selalu menolong setiap orang yang memerlukan pertolongan, nilai kebersamaan
mereka telah mendarah daging, membuat mereka tidak pernah membedakan manusia.
Sebaaimana tertuang dalam semboyan hidup dayak kanayatn: Adil ka’ talino, bacuramin kak saruga, basengat kak jubata.
Kini, kami sadar, bahwasanya
petualangan ke dunia mitos suku dayak bukan sekedar “ingin tahu”. Akan tetapi
sebuah refleksi, diantaranya mengajak “kita” untuk menghormati dan menaruh
respek terhadap lingkungan hidup. Selain itu, juga menyadarkan kami, bahwa
manusia di dunia tidak hidup sendirian, melainkan bersama dengan dengan “mahluk
lainnya”. Mengakhiri tulisan ini, saya mengutip ungkapan dari sebuah buku karya
Andreas Muhrotien.
“Memberi makan
setan tidak sama dengan menyembah setan atau hantu; sama seperti jika kita memberi makan ayam, tidak berarti menyembah
ayam. Singkatnya, semua mahluk yang ada
di alam merupakan ciptaan yang maha kuasa. Jika yang menciptakan saja memberi
kesempatan bagi semua mahkluk, kenapa manusia tidak juga demikian.” Andreas Muhrotien.
COMMENTS